Selasa, 18 April 2017

Belajar Untuk Mencintaimu

      



 Fatih tidak bisa mempercayai penglihatannya. Dalam kegelapan di kamarnya yang sempit itu, mendadak muncul sesosok perempuan dengan rambut putih seperti salju. Rambutnya panjang, hingga helai-helainya yang tampak lembut laksana benang sutra mampu melingkupi nyaris sekujur tubuhnya. Wajah perempuan itu tampak pucat, namun mampu memancarkan kecantikan yang ganjil di mata Fatih. Baginya, paras ayu perempuan itu seperti bukan berasal dari dunia ini. Kecantikan yang tidak manusiawi. Tubuh mungil perempuan itu melayang di udara dengan posisi tubuh yang saling menempel seperti bayi dalam kandungan seorang ibu.  Ia mengenakan pakaian berupa kain putih bersih yang membungkus tubuhnya dengan hati-hati, jenis pakaian yang pernah dilihat Fatih dalam ilustrasi perempuan kekaisaran kuno. Sosoknya dilingkupi oleh sesuatu semacam kain yang benar-benar tipis, lembut, dan nyaris transparan seperti air. Dari tubuhnya, memancar sinar lembut seperti matahari pagi. Sementara itu. kedua matanya tertutup, menandakan perempuan misterius itu sedang tidak sadar.

   Keheningan terjadi selama beberapa saat hingga akhirnya Fatih berhasil menguasai diri. Dipandanganya perempuan misterius tersebut, ditelusurinya tubuh mungil nan rapuh yang hadir di depannya dalam kehampaan yang dilahirkan siang. Lalu, sebelum ia sadari, Fatih terpesona dengan perempuan itu. Perlahan, ia berjalan mendekat, tangannya mencoba meraih tubuh tersebut. Saat tangannya nyaris menyentuh kulit yang putih bersinar tersebut, kedua mata perempuan itu terbuka. Sontak, Fatih tersentak kaget dan mundur beberapa langkah. Sejenak, rasa takut  menyelinap dalam hatinya.

       Perempuan rupawan itu memandangi Fatih dengan sepasang mata biru cerahnya yang besar bulat. Tidak ada ancaman atau ketakutan yang tampak dari sinar mata itu, sejujurnya, menurut Fatih, kedua mata yang unik justru menjadikan perempuan itu seperti bayi yang pertama kali bertatap pandang dengan ibunya. Polos, penuh harap, dan bahagia.

      Saat Fatih masih termangu, perempuan itu memutar tubuhnya, dan mendaratkan kakunya pada ubin kamar yang dingin. Saat itu, Fatih baru menyadari bahwa kaki phinerempuan itu juga sangat mungil dan ramping. Setelah kakinya menapak di lantai, perempuan itu, tanpa kata terucap, berjalan mendekati Fatih yang terpaku. Ia mendekatkan wajahnya hingga hanya menyisakan jarak beberapa senti dari ekspresi kaku Fatih. Pemuda itu panik, meski berusaha menutupinya. Ia tidak pernah sedekat ini dengan perempuan manapun, dan tidak mengerti situasi apa yang tengah ia hadapi. Sebagai tambahan yang membuat kondisi itu lebih parah ialah hembusan nafas lembut perempuan itu yang terasa hangat di wajahnya.

   Perempuan itu belum juga usai memandangi Fatih dengan pandangan yang tak mampu ia terjemahkan. Seakan belum cukup menyiksa pemuda di depannya, perempuan aneh itu menyentuh pipi kanan Fatih. Sengatan listrik menjalar dari sentuhan lembut itu dan membekukan tubuh Fatih secara sempurna, menghentikan sistem pernafasannya, dan memacu detak jantungnya.

      “Kamu...Piersga...?” tanya perempuan itu tiba-tiba. Entah kenapa, Fatih seperti pernah mendengar suara itu sebelumnya; Entah di mana, dan kapan.

    “Eh...bukan...” Fatih berupaya mengeluarkan suara dengan kesadarannya yang semakin tergoyahkan oleh sentuhan melenakan di pipinya.

      Perempuan itu terdiam. Dan entah benar atau hanya perasaan, Fatih menangkap rasa tidak percaya yang terpancar dari sinar mata biru tersebut. Sentuhan hangat di pipinya perlahan bergerak turun. Jangan, alam bawah sadar Fatih memprotes. Namun rupanya, perempuan itu tidak menurunkan tangannya, sebaliknya, justru sentuhan itu berubah menjadi belaian lembut yang semakin memperkuat sengatan listrik pada tubuh Fatih.

      “Kamu...Piersga...”

       Kali ini Fatih tidak mengiyakan atau menolak. Ia tidak ingin jawaban apapun membuat gadis itu berhenti menyentuh dirinya. Gadis itu terus membelai pipi Fatih beberapa saat, hingga sinar matanya berubah cerah, pupil matanya melebar seakan ia telah menemukan sesuatu yang dicari setelah sekian lama. Lalu, tanpa diduga, ia memeluk erat tubuh Fatih.

    Nafas pemuda itu tercekat...lagi. Kehangatan, kelembutan, dan aroma wangi tubuh mungil perempuan itu sontak meresap dalam setiap sensor tubuh Fatih. Wangi ini..., sesuatu berkilat-kilat dalam memori Piersga. Sesuatu yang jauh, dan samar. Sensasi yang nyata, senyata hembusan nafas dan detak jantung yang kini terasa dari balik kain tipis. Saat itulah, Fatih benar-benar yakin, siapapun gadis di depannya, apapun yang terjadi di kegelapan itu, pada detik itu, bukanlah mimpi.

    “Piersga....Piersga...Piersga....” perempuan memperat dekapannya di setiap ucapan kata. Pada akhirnya,  Fatih membalas pelukan hangat itu. Ia melingkarkan tangannya pada tubuh kecil tersebut, dan mendekap hati-hati seakan perempuan itu adalah sayap kupu-kupu yang mudah luruh.

    “Aku mencarimu.... selama ini.... aku mengingatmu...”, ujar gadis tersebut dengan suara tersendat. Nafasnya terputus, sepertia ada sesuatu yang menghambat tenggorokannya. Lalu Fatih menyadari bahwa perempuan itu sedang menangis. Secara reflek, Fatih membelai rambut putih mengkilat perempuan itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun suara itu, beserta seluruh perasaan perempuan yang berada dalam dekapannya kini, mengalir dalam dirinya, dan ikut melukai hati Fatih.

       Perempuan itu melepaskan pelukannya. Ia menatap Fatih dan menguraikan senyum termanis yang pernah dilihat Fatih. Matanya masih merah dan berkaca-kaca dan sisa tangisan yang melembabkan kedua pipi halus, berpadu menciptakan kecantikan lain dari keanggunan wajahnya yang asing, menciptakan kecantikan baru dalam yang berbeda. Fatih kembali tercekat, dadanya sakit. Perih, seperti ribuan jarum yang menusuk ulu hatinya.

         “Siapa namamu?” Tanya Fatih tanpa pikir panjang

         “Viria... kawanmu, kekasihmu, perindumu...kamu tidak ingat denganku?”

         Viria. Berbeda dengan suara dan aroma tubuhnya, nama itu tidak membunyikan dering apapun dalam kepala Fatih. Namun dalam hati, pemuda itu menyakini kalau mungkin di masa lalu, mereka berdua pernah bertemu.     

      “Maaf...” Jawab Fatih sambil menggeleng. Viria tersenyum, “Tidak apa-apa. Aku tahu kalau semua ini akan terjadi...”, ia membelai lembut pipi Fatih lagi, “Yang terpenting, kita bisa bertemu lagi...”

         Ada banyak hal yang tidak Fatih mengerti, dan banyak pula yang dia rasa perlu ia ketahui. Sosok perempuan rapuh di depannya adalah satu-satunya sumber informasi yang bisa dia dapatkan, jawaban yang hanya berjarak beberapa kata. Namun, entah kenapa, pemuda itu lebih suka semua tetap samar. Ia ingin pertemuan mereka tetap misterius, dan tak pernah terjawab.

      “Aku tidak akan memaksakan ingatanmu... tapi ada satu pintaku, maukah kau mendengarkannya?”, tanya Viria tiba-tiba. Ia kembali memandang Fatih dengan sepasang mata yang menghantarkan listrik itu. Fatih mengangguk.

         “Saat matahari muncul nanti, maukah kau belajar untuk mencintaiku?”

         Fatih mengernyit. Ia tidak mengerti makna dari pertanyaan yang mendadak macam itu. Bahkan, tidak mungkin ada orang di dunia ini yang bisa memahami permintaan Viria. Dalam hati, Fatih bertanya-tanya, apakah alasan kenapa perkataan Viria sulit dipahami adalah karena dia adalah perempuan? Jika dia menginginkan sesuatu dari dirinya, kenapa Viria tidak mengatakannya dengan bahasa yang lugas dan terang? Namun, sekali lagi, Fatih menahan rasa penasarannya, semua untuk mempertahankan kemisteriusan gadis cantik itu.

         Fatih balas memandang tatapan Viria, dan hanya satu hal yang menjadi jelas baginya : Ia jatuh cinta pada perempuan aneh di depannya. Jatuh begitu keras, hingga menimbulkan rasa sakit yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa sakit yang membuatnya rindu, membuatnya kecanduan. Fatihpun berpikir, dia bisa memenuhi permintaan Viria. Dia  sanggup mencintai gadis itu, bahkan sebelum matahari terbit.

       Pemuda itu meraih dan menggenggam erat kedua tangan Viria, mendekatkannya pada dada bidang miliknya. Tanpa melepas pandangan dari sepasang mata biru cerah Viria, dia mengikrarkan sumpah yang tak pernah ia lakukan sebelumnya,

        “Aku bersumpah akan mencintaimu, sebelum terbitnya sinar mentari pagi, hingga bulan terakhir sebelum kematianku...”, ucapnya dengan sepenuh keyakinan yang tidak pernah ia punya sebelumnya.

          Bagaimana aku bisa berubah dalam pertemuan sesingkat ini? Kenapa dengannya? perempuan yang muncul dalam kegelapan, perempuan yang berasal dari dunia yang berbeda denganku, perempuan yang dalam sekejap memporak-porandakan kehampaanku..

         Viria tersenyum tipis. Ia membelai pipi Fatih sekali lagi, dan memicu rasa sakit penuh candu itu sekali lagi di dada Fatih. “Aku tidak memintamu untuk berjanji. Aku tahu kamu mencintaku, seperti aku merindukanmu. Yang kuminta adalah belajarlah untuk mencintaiku, karena hanya dengan begitu, kerinduan kita akan bertemu.. Bisakah?”

         Fatih mengangguk. Ia pererat pelukannya pada Viria, ingin ia bisa bersatu dengan Viria sesegera mungkin. Ingin ia habiskan setiap nafasnya bersama perempuan itu.

      “Viria, ijinkan aku bertanya satu hal. Apakah semua ini hanyalah mimpi?” tanya Fatih. Mendengar pertanyaan Fatih, setitik air bening merembes dari sepasang mata biru Viria. Ia mencoba tersenyum, meski Fatih merasakan luka yang ia redam di baliknya.

      “Mimpi hanya terjadi saat kita terbangun, kasihku, Fatih...” Segera setelah Viria mengucapkan kata-kata tersebut, cahaya yang berpendar dari tubuhnya meredup, diikuti dengan kehangatan, kelembutan, dan kerapuhan yang berada dalam dekapannya. Tubuh Viria berubah transparan seperti hantu yang kesepian.

         “Viria?! Viria?!!”, Fatih meraih-raih tubuh Viria yang semakin tak nyata. Namun, suaranya tidak lagi mencapai Viria. Gadis itu melempar senyum manisnya sekali lagi, dengan kilau bening air mata yang memantul melalui sisa cahaya.

      Viria lenyap. Tubuhnya menghilang, dan semua kembali seperti semula; Kegelapan dan kehampaan di sudut kamarnya yang sepi. Fatih jatuh di atas lutut, matanya memandangi ubin kamar yang dingin. Tidak ada apa-apa di sana, karena cahaya dari Viria telah tiada. Namun rasa sakit di dadanya masih membekas, berdetak perlahan. Sekelebat aroma wangi tubuh Viria memberikannya nyawa, mengingatkannya pada janji yang mereka berdua buat.  
             
*Catatan :
Piersga = Nama Yunani yang bermakna "pecinta kuda"
Viria= bentuk lain dari Virya, dalam bahasa sansekerta bermakna "semangat"

Disclaimer : Hak cipta ilustrasi sepenuhnya milik pihak yang berbeda. Penulis hanya menggunakannya sebagai elemen pendukung cerita tanpa tujuan komersialisasi.

sumber ilustrasi : pixiv.net


Senin, 31 Oktober 2016

Tidak Ada Makam di Kotaku

Kotaku punya satu ciri khas unik : ia tidak punya pemakaman. Wajarnya, sebuah wilayah seperti desa, kecamatan, atau satuan daerah tertentu akan mengalokasikan sebagian kecil tanahnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini tentu saja dilatarbelakangi oleh faktor kesehatan, agama, dan budaya. Biasanya pihak yang menyediakan adalah warga lokal atas dasar kesepakatan bersama dengan menggunakan tanah waqaf, atau mekanisme lain, ada juga yang memang disediakan oleh pemerintah. Pihak manapun yang menyediakan, kemudian akan menyerahkan pengelolaannya pada lembaga lain, entah itu bersifat swasta atau publik. Di negeri tertentu, pemakaman bahkan dibuat ladang bisnis yang berkelanjutan. Pengusaha yang bergerak di bidang ini menyediakan layanan mulai dari penyediaan lahan, penyiapannya, perawatan mayat, hingga mengurus kebersihan makam ke depannya.
Tapi kotaku berbeda, kami sudah tidak lagi memiliki lahan pemakaman khusus. Dewan kota sepakat untuk menghapus lahan pemakaman yang ada sejak delapan tahun yang lalu, saat putra ketiga salah seorang dermawan kota terkaya meninggal akibat mata cangkul yang digunakan penggali makam lepas, melayang, dan menghujam tepat di kepala bocah berusia tiga belas tahun itu saat ia tengah berziarah ke makam kakeknya yang terkenal korup semasa hidupnya. Aku tidak tahu bagaimana hal itu bisa berhubungan, karena akupun baru kembali ke kota ini setelah sekian lama berpergian. Yang pasti setelah kejadian itu, satu persatu lahan pemakaman kota dibongkar dan dirubah menjadi sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Di atas pemakaman tersebut, dibangun sebuah hutan buatan dengan rimbunan pohon hijau yang menudunginya. 
Aku menanyakan, bagaimana dengan mayat-mayatnya? Dan kakak perempuanku menjawab bahwa mayat-mayat itu tetap di sana. Sama sekali tak disentuh. Malahan, berdasarkan kesepakatan penduduk kota, setiap mayat tambahan yang hadir di pemakaman tidak akan lagi dperlakukan sebagai sebuah benda mati yang terkubur dengan tanda batu nisan saja, melainkan sebagai bibit baru bagi sebagai tambahan satu pohon baru. Awalnya, aku tidak begitu mengerti, lalu kemudian kakakku mengajakku ke sebuah acara pemakaman untuk salah seorang warga kota yang meninggal akibat tabrakan antar sepeda motor. Sesampainya di rumah duka, aku tidak melihat apapun yang janggal. Semuanya berpakaian serba hitam, dengan tangis sendu, dan kesuraman khas kematian. Aku bisa melihat sebuah bilik yang ditutupi tirai kuning di sudut jalan; itu adalah tempat keluarga memandikan jenazah. Semua berjalan sebagaimana yang bisa kuingat, dan mereka lalu membawa jenazah itu ke pemakaman yang kini berubah jadi hutan buatan di tengah kota.
Pertama kali aku berada dekat dengan hutan tersebut, suasana teduh merasuk dalam mataku. Warna hijau yang menenangkan, dan bau dedaunan yang menyenangkan berpadu jadi satu dan menciptakan perasaan damai. Sama sekali tidak ada guram gelap dan sendu kematian yang memancar dari lahan yang tertanam orang mati. Aku sempat terpesona sejenak memandangi  pepohonan yang ditata apik, layaknya taman hutan sungguhan(Dan kakakku mengatakan, memang hutan buatan ini juga dibuka untuk wisata)
Rombongan duka mulai memasuki gerbang hutan yang terbuat dari kayu pinus, di atas portal terpasang papan dari kayu yang dicat putih, bertuliska besar : “HUTAN KOTA GIBRAN : Tak ada akhir bagi yang percaya, dan awal baru bagi kasih sayang sejati”. Aku memandanginya sejenak, dan bertanya kembali pada kakakku, “Siapa Gibran?” 
“Itu putra Sang Dermawan yang meninggal di pemakaman ini dulu. Kematiannyalah yang melahirkan hutan ini...” Jawab Kakak ku seraya melanjutkan langkah mengikuti rombongan duka.
Aku terkejut mendengar saat ia mengatakan, kematiannyalah yang melahirkan, dengan raut wajah senang. Entah bagaimana rasanya begitu tidak wajar, seakan-akan kematian bocah malang itu membawa hadiah natal baginya, atau mungkin bagi seluruh warga kota. Sesaat aku berpikir, bagaimana perasaan Sang Dermawan melihat kematian anaknya? dan perasaannya mengenai hutan ini? Lamunanku berakhir saat suara kakak menghentak kesadaranku, rombongan sudah memasuki bagian dalam hutan, dan akupun pergi menyusul. 
Hutan bagian dalam rupayanya menghadirkan nuansa yang lebih teduh daripada pemandangan luar. Sinar matahari menembus melalui celah-celah dedaunan, dan menghantarkan udara hangat-hangat kuku. Sungguh suasana yang nyaman untuk terlelap. Kuperhatikan sekeliling, diantara pepohonan yang telah menjulang tampak beberapa bibit pohon segar yang bertebaran di tanah-tanah yang masih kosong. 
“Itu orang-orang yang baru meninggal...” Bisik kakak. Ohh..., aku mengangguk-angguk. 
Sesaat kemudian, rombongan duka berhenti di suatu lapangan di tengah hutan. Di tengah-tengah lahan itu terdapat lubang dengan diameter sekitar satu meter. Sebuah lubang yang kecil, jika memang ingin digunakan untuk mengubur manusia. Aku penasaran, tapi mencoba untuk tidak bertanya. Keranda jenazah diturunkan, kemudian kain hijau yang menutupinya disingkap. Dadaku sejenak terasa sesak melihat sosok berbalut kain putih, dan wajah kaku itu terbujur lurus di atas matras. Tak lama berselang, aku melihat sesuatu yang baru; beberapa pria muncul sambil menggotong sebuah benda aneh. Benda itu berwarna putih telur, dan bahkan berbentuk nyaris seperti telur, hanya saja bagian atasnya berongga. Diameter benda itu kira-kira delapan puluh senti lebih, dengan tinggi mencapai satu meter. Kecil, namun cukup besar untuk... memasukkan manusia? Aku terhenyak. Apakah mereka akan memasukkan jenazah itu dalam cangkang telur tersebut? Aku mau bertanya, namun lagi-lagi kusimpan rasa penasaranku. 
Dan benar, pria-pria berkemeja hitam, yang nampaknya berasal dari suatu lembaga tertentu, mulai merubah posisi tubuh jenazah yang telentang di matras, menjadi seperti posisi tubuh bayi dalam kandungan. Kemudian, mereka menggotongnya,dan memasukkannya dalam cangkang telur tersebut. Setelah itu, salah seorang pria lain, datang membawa sesuatu yang ganjil. Perlu beberapa saat bagiku, untuk menyadari bahwa itu adalah bagian atas, atau tutup dari cangkang telur tersebut. Di bagian atas tutup cangkang telur tersebut, menempel sebatang pohon muda dengan akar-akarnya yang meililit dan menusuk masuk ke bagian dalam tutup tersebut. 
“ Itu adalah ReLife, penemuan dari tim ilmuwan yang disewa keluarga tersebut. Mereka terdiri dari ahli kimia, biologi, dan teknik. Cangkang telur itu dirancang untuk mempercepat proses dekomposisi organisme yang ada di dalamnya, yang kemudian, akan diserap sebagai nutrisi yang sangat bagus oleh pohon muda di atasnya melalui akar-akar yang terhubung tersebut..” Jelas kakakku. Aku mendengarkannya sambil tercenung. Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi terhadap inovasi ini. Membayangkan tubuh manusia akan diserap oleh tumbuhan sebagai nustrisi, membuatku sedikit mual. Mendadak aku merasa rerumputan di bawah kakiku mulai menggerayangi betisku, dan pohon-pohon besar itu menatap lapar padaku.
“Kenapa mereka setuju melakukannya? Maksudku pastinya ngeri membayangkan ayah atau ibu dijadikan pupuk oleh pohon-pohon itu”, tanyaku. Kakak tersenyum, dan kemudian menjawab, “ Bukankah justru bagus? Kematian orang tua kita, menghadirkan kehidupan baru bagi makhluk lain...” Ia berujar persis seperti slogan di papa selamat datang hutan ini. Namun, aku belum bisa memaklumi kebiasaan baru ini. Beberapa saat kemudian, “pemakaman itu selesai, dan rombongan bubar meninggalkan hutan. Sekilas, dapat kulihat belasan anak muda tengah berpiknik, tak jauh dari pemakaman tadi. 
Tiga bulan kemudian, kakak meninggal. Ia jatuh tersungkur di sebuah subuh usai melaksanakan salat subuh di rumahnya. Diagnosis dokter tidak menemukan apapun yang mencurigakan, selain pernyataan bahwa jantungnya berhenti secara tiba-tiba. Aku terguncang. Kupandangi wajah ayah, ibu, suami, serta anak lelakinya yang masih berusia lima tahun : Lintang. Kakak adalah satu-satunya perempuan yang paling dekat denganku selain ibu. Bertahun-tahun aku pergi, hanya wajah mereka berdua yang menghalangiku dari setiap pikiran bodoh yang melintas. Saat ia memutuskan untuk menikah, aku sempat merasa sedih dan takut dia akan berubah; namun kepulanganku beberapa waktu lalu, menghapus semua itu. Ia tetap perempuan yang sama, dengan senyum dan kata-kata yang membuatku tenang.
Kulihat Lintang menangis keras, sepanjang persiapan pemakaman ibundanya. Aku mendekatinya, dan serta menggendong dan memeluknya erat, seolah hendak berbagi perasaan itu dengannya. Mas Heru menepuk pundakku, kulihat matanya membengkak karena air mata yang kutahu telah berjuang ia tahan di depan Lintang. Ayah dan Ibu, termenung, tak percaya salah satu anak kesayangannya pergi begitu saja. Tak perduli apapun yang diucapkan kyai dan tetangga tentang takdir atau kematian yang indah, keindahannya dalam menemui ajal, tak mengubah fakta bahwa ia sudah pergi meninggalkan kami.
Seperti warga kota lain, kakak dimakamkan di Hutan Kota Gibran. Seluruh proses berjalan begitu cepat seusai meninggalkan rumah duka. Ketika aku melewati gerbang hutan, tak kurasakan hawa teduh dan sejuk seperti saat pertama kali mengunjunginya bersama kakak; Tampaknya saat kematian itu merebut apa yang kita cinta, batu nisan ataupun pohon-pohon rindang tak berarti sama sekali.
 Saat jenazah kakak hendak dimasukkan dalam cangkang telur itu, aku menawarkan diri untuk menggendongnya, dan Mas Heru setuju karena aku adalah adik satu-satunya, dan telah lama tidak berjumpa dengan kakak. Kubawa tubuh kakak dalam lengan, dan dapat kurasakan bobot tubuhnya lebih ringan dari yang kuduga. Perlahan, aku melangkah menuju cangkang telur putih yang menganga, dan di setiap langkah itu, kurasakan perasaan ganjil yang perlahan memenuhi dadaku. Ketakutan yang kubayangkan saat pertama kali melihat proses pemakaman ini, dan bayangan pepohonan yang siap menyerap setiap tetes sari kehidupan kakak, perlahan semakin kuat. Lalu, tanpa kusadari, aku telah berada di depan mulut cangkang tersebut. Dibantu dengan pria lainnya(yang ternyata merupakan pegawai perusahaan pemakaman), kumasukkan tubuh kakak ke dalamnya. Tubuh tak bernyawa itu jatuh dan bersender lemas pada dinding cangkang yang gelap. Kupandangi wajahya sesaat, dan kemudian tutup cangkang dikeluarkan. Perlahan-lahan, cangkang itu dimasukkan dalam lubang galian, dan akhirnya, hanya menyisakan sebatang pohon muda, dengan setetes embun di dedauannya yang hijau segar.
Kematian kakak, membuat lubang kosong pertama dan mungkin yang terbesar dalam hatiku. Ruang kosong itu mampu dilewati angin malam yang beku,dan meninggalkanku dalam kehampaan. Rencana awal, aku hanya akan tinggal di kota kelahiranku dalam waktu enam bulan, dan pergi kembali melanjutkan perjalanan. Namun, sesuatu menahanku. Rencana itu kurevisi dan kuperpanjang masa tinggalku di sini menjadi satu tahun. Selama itu, semenjak pemakaman kakak, aku pergi keluar tiap sore menjelang. Kawan-kawanku telah lama berkeluarga, dan aku memang tak punya minat untuk berkumpul dengan mereka. Alih-alih pergi ke bar untuk mabuk-mabukan seperti kebiasaanku, langkah kaki menuntunku menuju Hutan Kota Gibran. Saat lagi-lagi aku melewati gerbang masuknya, kerindangan itu kembali bersama kedamaian, ketenangan, dan...entah bagaimana, kerinduan. Aku melangkah gontai menuju letak pemakaman kakak. 
Sesampaianya di sana, kulihat sebatang pohon muda yang menjadi “batu nisan”nya. Aku tidak tahu jenis pohon apa itu; dahan-dahannya masih kecil dan rapuh. Daun-daunnya pun belum hijau sempurna, masih pucat. Kuamati pohon kecil tersebut, dan ada sesuatu yang sebenarnya telah menggangguku sejak kemarin, yaitu sebuah papa kecil yang tertancap di dekat pohon tersebut. Papan itu bertuliskan : 
                   Di sini, terlahir kembali putri dan ibu kami yang cantik :      
                                         LIANA CENDANA PUTRI
                  Karena ia akan senantiasa hidup, dan menghidupi kami
Benarkah kakak terlahir kembali di hutan ini? Melalui sebatang pohon ini? Kupandangi pohon kaku itu dalam diam. Bisakah aku kembali melihat senyum dan mendengar ucapannya yang menenangkan dari kebisuan makhluk berkayu ini? Bagaimana aku bisa percaya, bahwa ini bukanlah sekedar obsesi aneh keluarga kaya yang dipaksakan pada masyarakat kota...?
Aku duduk bersimpuh di depan pohon kakak, dan mencoba membelai lembut dedaunannya. Tidak ada pergerakan, atau reaksi alamiah. Tentu saja, apa yang kau harapkan? Aku bangkit, dan melangkah pergi dari taman itu.
Hari-hari berikutnya, kutemukan diriku terus menerus mengunjungi Hutan Kota Gibran, entah sendiri atau bersama Mas Heru dan Lintang. Aku selalu mengunjungnya setiap sore menjelang. Aku pun tak memahami setan macam apa yang merasuki dan mendorongku masuk ke hutan ini. Sore itu, aku berharap tak akan pernah mengunjunginya lagi. Namun, rupanya niat itu batal pegelola pemakaman mengabarkan adanya sedikit kerusakan pada pohon kakak akibat hujan badai yang menerpa kota selama beberapa hari. Meskipun mereka berkomitmen untuk merawatnya, mengatakan insiden ini merupakan hal biasa, dan sekedar melaporkan, aku tidak bisa menahan keinginanku untuk pergi ke sana, dan merawatnya sendiri. Sejak saat itu, aku pun kembali rutin mengunjungi pohon kakak.
Satu tahun berlalu, dan aku memperpanjang masa tinggalku kembali. Sebenarnya, keinginanku untuk kembali berpergian sudah tidak ada lagi. Aku berdalih, sudah saatnya aku menetap, dan tak ada tempat yang lebih tepat selain kampung halaman karena aku bisa merawat kedua orang tuaku.Jauh dalam hatiku, aku tidak ingin kehilangan momen lebih banyak bersama mereka berdua. Setiap senja aku memandangi pohon kakak, muncul keinginan untuk bisa berbicara lebih banyak bersama kedua orang tuaku, saat mereka masih berwujud manusia, dan aku bisa mendengar suara mereka. Aku ingin bersama mereka saat aku masih bisa menyentuh kedua tangan mereka, dan mengusap wajah mereka yang semakin kasar akibat keriput-keriput tua. Seiring dengan pohon kakak yang semakin tinggi dan kuat, aku tahu semakin dekat waktu kedua orang tuaku akan berubah menjadi pohon.
Meski begitu, perlahan namun pasti, aku juga semakin kehilangan rasa benci dan takut pada pepohonan itu. Mereka tak lagi nampak ingin memangsaku, malahan, makhluk-makhluk diam itu seolah melindungiku dan merindukan kehadiranku. Di depan pohon kakak, aku seringkali tertidur seolah bersandar pada pahanya, seperti saat dulu kami masih kecil. Terlebih, saat aku berbincang dan memperhatikan orang-orang yang bersantai di taman tersebut, rata-rata mereka tidak datang dengan tujuan awal untuk sekedar tidur-tiduran di bawah teduhan pohon, melainkan bermain dengan orang terkasih mereka-yang telah berubah wujud menjadi pohon.
Kini aku paham makna slogan di gerbang penyabut taman ini, “Tidak ada akhir bagi yang percaya, dan awal baru bagi kasih sayang sejati”.  Di sini, di bawah pepohonan yang tumbuh melalui orang-orang yang kami cintai, kami tidak menangisi kematian orang-orang yang kami cintai, tapi kami menyambut kembali mereka yang lahir dalam bentuk kehidupan baru.
Aku menyirami pohon kakak yang telah tumbuh setinggi dahiku, beningnya butir-butir air yang menempel di daun hijaunya memantulkan sinar senja ke mataku. Dalam bias cahaya itu, aku melihat kakak tersenyum padaku. 

Tangan Kurus Ibu

Ia menggapai diriku; tangannya sudah tak sama lagi sejak terakhir kami bertatap muka sepuluh tahun lalu. Entah kemana tangan tersebut pergi, yang pasti, waktu yang telah membawanya pergi. Ia kini tak ubahnya ranting kering yang berada diambang kematiannya, dengan tulang dan urat-urat yang menonjol dari balik kulit pucatnya. Aku diam terpaku memandangi tangannya yang bergetar mengambang di udara, perlahan mendekati tubuhku. Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi kondisi ini, dan aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus mengingat tangan tersebut : sebagai kenangan indah, atau mimpi buruk.
Ingatan dan kenyataan, pasti memiliki rentang waktu yang berbeda. Jarak beberapa senti antara tangan lemah dengan tubuhku yang bisa ditempuh dalam beberapa puluh detik, rupanya memberiku cukup waktu untuk menggali kembali semua memori tentang pemilik tangan tersebut : Ibuku. Seorang wanita yang hadir dengan dua wajah berbeda dalam sejarah hidupku. Seulas senyum dan sekepal tinju, itu yang bisa kuungkapkan untuk merangkumyg sosok ibu.
Sepuluh tahun awal kehidupanku, ia kuingat sebagai perempuan berhati suci yang lembut membelai kepalaku setiap akan tidur, membuatkanku sarapan, dan menungguku pulang dari sekolah. Sepuluh tahun berikutnya, ia menjelma berubah jadi neraka bagi hidupku secara tiba-tiba. Ia mabuk, pulang menjelang pagi dalam keadaan nyaris tak mampu berdiri, dan barang-barang aneh mulai bertumpuk dalam rumah. Pakaian-pakaiannya berubah semakin terbuka dengan warna mencolok mata. Tiap hari, selalu ada pria-pria asing yang singgah, bahkan menginap di rumah. Mereka kebanyakan berperawakan besar dengan rayt wajah kasat. Mereka datang silih berganti, dengan rupa berganti-ganti. Namun, aku ingat ada satu orang yang berbeda. Ia adalah sesosok pria berukuran sedang, bahkan cenderung kecil, dengan kulit putih bersih, dan raut wajah halus. Sangat berbanding terbalik dengan pria lain di rumah itu. Aku ingat namanya Ikhsan. Om Ikhsan, aku memanggilnya. Aku mengenalnya sebagaI kenalan ibu melalui bisnis jual-beli batik online. Awalnya ia hadir sebagai pelanggan tetap, dan akhirnyaa berkembang jadi reseller paling produktif. Aku tidak pernah paham bagaimana alurnya, tapi jika aku boleh mengkaitkan, ayah dan ibu mulai sering bertengkar.
Akhirnya, kira-kira tepat empat bulan lima hari setelah ulang tahunku yang kesembilan, kedua orang tuaku resmi bercerai. Aku sudah cukup besar untuk mengetahui bahwa Om Ikshan berperan dalam perceraian ayah ibuku. Namun, rupanya aku masih tidak cukup tua bagi hakim pengadilan untuk membiarkanku tinggal dengan ayahku. Anehnya, ayah juga tidak terluhat sedih atau setidaknya memperlihatkan tanda-tanda ingin bertemu dan ingin mempertahanku. Sampai sekarang, aku masih bertanya, apakah ayah juga membenciku karena tidak melaporkan kedatangan Om Ikshan ke rumah tiap hari. Pada titik inilah, ibuku mulai berganti topeng.
Aku ingat pertama kali ia meninjuku pada saat hari ulang tahunku yang kedua belas. Itu karena,untuk pertama kalinya aku menentang dan mempertanyakan kepergiannya tiap malam, serta keberadaan Om Ikhsan. Aku tidak ingin terus berpura-pura bodoh dan tidak mengerti apa yang mereka lakukan tiap malam di dalam kamar. Aku sudah mengalami menstruasi pertamaku, dan mendapat penjelasan singkat namun gamblang dari Bu Risyah, guru agama di sekolah tentang makna noda darah itu serta beban dosa yang mulai saat ini akan kutanggung sendiri. Diam-diam, aku bersyukur karena tidak lagi membebani ibu atau ayah dengan segala mmacam perbuatanku, apalagi dengan semua dosa yang sudah mereka lakukan. Saat pulang sore harinya, aku mendengar suara gemericik dari kamar mandi, tampaknya ibu sedang mandi. Aku meletakkan tas, membuka seragam dan rok biru tuaku, lalu berjalan menuju dapur untuk minum. Saat aku hendak menenggak air dingin itu, pintu kamar mandi terbuka. Dari dalam, keluar sosok ibu dengan tubuh berbalut handuk, dan dibelakangnya diikuti sosok kurus Om Ikshan yang telanjang bulat.
Aku terhenyak.
Rasa hausku menghilang, dan keringnya tenggorokan kukompensasi secara alamiah dengan menelan air liur. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana, dan tampaknya mereka berdua juga merasakan hal yang sama. Pada akhirnya, Om Ikhsan memilih untuk menyapaku duluan, memecahkan keheningan.
“Sejak kapan pulang, Rina?” Nadanya jelas menunjukkan kecanggungan. Matanya pun tidak berani menatap langsung padaku. Aku yang tidak tahu harus bertindak apa, akhirnya juga menjawabnya dengan nada sama canggungnya, “Barusan om… anu…”
Belum sempat aku bicara lebih lanjut, ibuku menarik tangan Om Ikhsan dengan kasar, dan menyeretnya menuju kamar. Ia melengos melewatiku. Harum sabun yang khas semerbak menyerang hidungku. Aku memandanginya, tanpa berkata apapun. Lalu, sebelum ibu membuka pintu kamarnya. Ia berucap dingin, “Pakai baju.” Saat itulah, aku sadar hanya mengenakan mini set dan celana dalam.

Malamnya, saat Om Ikshan tidak ada di rumah, (entah kenapa, aku tidak berani mengungkapkan langsung pada Om Ikhsan) aku mengajukan keberatanku pada Ibu. Aku memprotes semuanya, dan tanpa sadar, aku aku mengeluarkan semua yang ada dalam pikiranku selama ini, sejak perceraian mereka berdua. Aku mengeluarkan semuanya, dan jika kuingat lagi, aku tidak pernah bicara dengan muatan emosi sebanyak itu lagi disepanjang sisa hidupku. Kukira cukup lama aku bicara, dan selama itu Ibu terdiam. Setelah aku berhenti kehabisan nafas, Ibu mendekat, dan masih tanpa bicara apapun, tinju Ibu mendarat keras di pipi kananku. Aku sontak terjerembab ke belakang. Tubuhku jatuh tersungkur di lantai yang dingin, dan pipi kananku terasa sebah. Aku merabanya, perih. Aku melemparkan pandang tepat ke mata Ibuku, mencoba mengerti maksud dari tinju itu. Namun, aku tidak melihat tanda-tanda apapun seperti air mata penyesalan atau rasa bersalah dari sepasang mata wanita paruh baya itu. Perlahan-lahan, sisa emosi yang meluap-luap di dadaku tadi mengendap dan mengeras. Ia menutup sesuatu yang dalam diriku, dan sisa yang belum sempat membeku, mendesak keluar melalui mata dalam bentuk beberapa bulir cairan sebening embun. Setelah ditelan keheningan sesaat, Ibuku berjalan masuk ke kamar. Meninggalkan aku yang masih tergeletak dilantai rumah, yang kurasa semakin dingin.
Rupanya, itu adalah tinju pertama yang Ibu layangkan padaku. Sejak malam itu, setiap kali Ibu melihatku sedang bersama dengan Om Ikshan, ia akan menyeretku ke kamar dan akan menghajarku. Aku tidak tahu apa penyebabnya, mungkin cemburu. Ibu pasti sudah gila, pikirku. Aku tidak pernah berani pergi ke rumah Ayah, karena aku mengira ia masih membenciku. Hari demi haripun kulewati, dan aku tumbuh dengan memendam semua rasa sakit di tubuhku akibat tinju Ibu, serta sesuatu yang terus mengeras dalam dadaku. Satu-satunya yang bisa kulakukan untuk mengurangi resiko tertinju Ibu adalah menghindari Om Ikhsan sebisa mungkin, meskipun anehnya, kami selalu berakhir bertemu dalam suatu ruang; dan itupun tidak lama, karena Ibu segera tahu dan langsung menyeretku.
Hal itu berlangsung hingga aku berusia 17 tahun, saat tubuhku tidak lagi kuat menanggung rasa sakit, dan memutuskan pergi dari rumah. Keputusan itutu dipicu oleh sebuah kejadian di malam hari, sepuluh tahun lalu. Saat itu, sekitar delapan pria asing lagi-lagi berkumpul di rumah. Kali ini mereka menyetel musik dengan irama menghentak ala clubhouse sambil membakar benda semacam serbuk yang menghasilkan asap putih tebal. Aku mengurung diri di kamar hingga akhirnya terlelap tanpa perduli dengan beat musik tersebut. Dalam lelap, aku bermimpi buruk. Seekor ular besar hitam, sepanjang kira-kira delapan meter mengejarku dalam kegelapan hutan, yang pekat. Ia bergerak dengan cepat seakan kerikil, bebatuan, dan ranting hutan tak menjadi halangan bagi laju melatanya. Aku mencoba berbelok tajam di tengah laju lari, berharap kecepatannya tak mampu mengikuti manuver tubuhku. Namun ternyata sia-sia. Ia adalah makhluk yang dirancang untuk memangsa hewan-hewan yang memiliki kelincahan lebih tinggi daripada manusia. Aku tertangkap. Tubuh besarnya melilitku cukup keras, hingga aku dapat merasakan dingin dan licin kulit ularnya. Nafasku sesak. Ia menggesek-gesekkan tubuhnya padaku. Gerakannya begitu teratur, dan anehnya, seperti berirama. Benturan kulit kasarnya dan kulit remajaku menghasilkan sensasi ganjil yang menjalar di bagian dalam tubuhku. Rasa geli di bagian-bagian sensitif tubuhku meningkat, dan menghasilkan sesuatu seperti sengatan listrik yang kemudian menyerang otakku. Aku mengejang, ototku menegang, dan nafasku semakin sesak. Sesuatu mendesak dari bagian bawah tubuhku. Aku berada dalam dilema, di sisi lain aku tidak ingin mengakhiri sensasi tubuh ini, dan di saat yang sama, akal sehatku mulai bekerja dan mendesakku untuk lepas.
BRAKK!!
Sebuah suara benturan yang keras membangunkanku secara paksa dari dilema. Kesadaranku seperti ditarik cepat untuk kembali ke dalam ragaku. Saat kubuka mataku, kudapati sosok Om Ikhsan yang bertelanjang bulat tengah menindihku, dengan wajahnya tepat di atas dadaku yang telah terekspos. Aku terkejut, tanpa bisa mengucapkan apapun. Aku menarik selimut dan menutup dadaku secara reflek. Mataku kemudian beralih ke arah pintu, di sana Ibuku juga dalam kondisi hanya berbalutkan selimut berdiri dengan mata meradang ke arahku. Di belakangnya ada seorang pria besar dengan hanya mengenakan celana dalam. Keliatannya, mereka hendak bercinta, saat sesuatu mengganggu Ibu, dan ia merangsek masuk kemari.
Ibu melangkah cepat, menarik Om Ikhsan, dan tanpa sempat kutahan, sekali lagi tinjunya melayang pada pipi kananku. Seperti biasa, aku tidak mengukapkan apapun. Namun, emosi sekali lagi mendidih dalam dadaku. Aku bangkit, mengenakan kembali kaosku, mengambil tas besar warna biru, mengemasi berbagai barang yang bisa kuambil, dan melangkah keluar dari kamar. Saat aku melewatinya, aku berhenti, menatap matanya dengan pandangan paling tajam yang pernah kuberikan pada orang lain. “Pelacur…”, ujarku padanya. Setelah itu, aku pergi, dan bersumpah tidak akan menoleh kebelakang lagi.
Setelah itu, realitas kembalI merebutku ke bilik kamar rumah sakit ini. Tangan kurus itu telah menggapaiku. Jemari telunjuk dan ibu jarinya menggantung lemah di kemeja putih yang kukenakan. Aku menguatkan diri, memandangi wajahnya, dan masih tak tahu wajah ibu yang mana yang harus kuingat. Kulemparkan mataku dari raut tua Ibu menuju jendela yang tembus ke halaman parkir rumah sakit. Di sana seharusnya Dinda menunggu dalam mobil sedan putihnya. Setelah kecupan singkat untuk pamit, aku berjanji akan tidak lama. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 lewat 8 menit. Sudah sepuluh menit lebih aku berada di sini, lebih lama dariperkiraanku yang yakin hanya butuh dua menit untuk sejenak melihat wajahnya dan pergi.
Dari jendela, aku kembali menatap wajahnya. Pada saat itulah, untuk pertama kali setelah dua puluh tahun, aku melihat Ibu tersenyum padaku. Seulas senyum yang tergurat lemah, dan dengan jelas menandakan akhir kehidupan yang semakin dekat menyapa. Tangannya masih gemetar, namun berusaha untuk tetap menggantung pada kemeja putihku. Sebuah perasaan yang tak mampu kujelaskan menyergapku. Tanpa perintah, aku menggenggam tangan Ibu dengan lembut, mengangkatnya perlahan dan menciumnya.
Terkejut dengan tindakanku sendiri, aku memilih perasaanku yang telah lama mengeras menuntun diriku. Kuciumi dan kuhirup bau tangan Ibuku, seakan aku hendak menyerap semua yang tersisa dari energi kehidupannya yang mulai redup. Aku ingin mengingat bau ini, bau orang yang pernah kutahu pernah menyayangiku, setidaknya di masa awal kehidupanku. Setelah tangannya, aku mendekat dan kuciumi wajah Ibu; pipi dan dahi, kukecup mereka bergantian dengan lembut berkali-kali. Tanpa sadar, air mataku mengalir membasahi wajahnya. Ia tidak menolak, atau mungkin tak ada kekuatan untuk menolak. Aku menangis, setelah sekian lama, dihadapan orang yang kuanggap neraka. Aku menangis begitu keras, hingga tak mengeluarkan suara apapun. Air mata ini adalah lelehan batu yang mengendap sekian tahun, dan hadir sebagai banjir.
Sambil menangis, aku mencoba berargumentasi dengan kebencian dalam diriku ; pada akhirnya, aku tetap tidak memaafkannya. Namun, aku juga menolak untuk mengenangnya sebagai sekepal tinju, maupun seulas senyum. Ini semata demi keadilan. Aku akan menghapusnya, dan untuk kebaikan kami berdua, terutama diriku, aku akan coba mengingatnya sebagai manusia yang sama : dua wanita berdosa yang mencoba mengisi salah satu babnya dengan keindahan. Dan manusia itu, bagaimanapun, adalah Ibuku.
Saat jam kunjungku berakhir, aku melangkah gontai dengan sesuatu yang hilang dalam diriku. Aku berjalan dengan pandangan yang menerawang pada langit-langit lorong rumah sakit.

Lucid Dream

Sumber : artworld.com
Laki-laki itu memunggunginya, seakan waktu tak pernah memaksa mereka berpapasan di persimpangan takdir. Alisa ingin menamparnya, mengikatnya, dan menghantam wajah lembut yang diingatnya dalam setiap malam dan mimpi yang memabukkan. Ia tidak paham bagaimana seseorang bisa melupakan - atau berpura-pura melupakan-orang lain semudah itu. Tangan Alisa mencoba menggapai punggungnya, namun jarak diantara mereka semakin melebar seakan terdapat roda bergerak di bawah kaki mereka, membawa mereka ke arah yang berbeda.
Namanya, ah, Alisa bahkan tak sempat mengetahui namanya. Laki-laki itu datang begitu saja dalam pikirannya. Seperti anak kecil nakal yang masuk tanpa sopan santun ke rumah seorang perempuan kesepian, hanya karena ia melihat gadis itu menangis di sofa ruang tamu. Laki-laki itu kemudian menarik paksa tagannya, menyeretnya keluar menuju terik sinar matahari dan tiupan angin. Awalnya, Alisa berusaha menolak, menarik kembali tangannya, dan berlari pulang ke sofa ruang tamu untuk merajut kesedihannya; namun bocah itu tidak menyerah.Dia melemparkan senyum khas anak badung ke arahnya, dan seketika itu, Alisa berhenti menolak. Gadis kecil yang menangis itu menyerah dalam arus yang diciptakan laki-laki itu.
Tapi aku harus memanggilnya, pikir Alisa. Perempuan berbibir tipis itu membuka mulutnya, hendak memanggil. Tapi entah bagaimana, ia tidak mampu mengeluarkan suara apapun. Alisa panik; panik karena ia merasa tak mampu mengendalikan tubuhnya, dan panik karena lelaki itu semakin menjauh. Punggungnya semakin lama semakin mengecil. Alisa mencoba mengerakkan tangannya, gagal. Kakinya, gagal. Semua diam tak bergerak, seakan seluruh syaraf tubuhnya sudah mati. Ia lumpuh. Ia berdiri kaku seperti patung di pinggir halte yang diguyur hujan tersebut. Diam-diam, ia ingin menangis. Air matanya turun, namun hanya dalam kebisuan. Gadis manis itu menangis, dan berusaha menangis sekeras mungkin dengan harapan ada sepatah suara yang keluar dari celah-celah sumbat gaib yang menyelubungi dirinya. Laki-laki itupun semakin jauh, dan hujan semakin deras mengguyur halte kecil itu, menghilangkan segala hal didepannya seperti tirai penutup pertunjukan.
Alisa terbangun. Keringat dingin mengalir deras dari dahinya. Pakaiannya basah, terutama bagian punggung. Ia mencoba mengumpulkan kesadaran, dan memperhatikan sekelilingnya. Objek pertama yang tampak dimata jerninhnya adalah meja belajar dari kayu, dengan belasan buku yang menumpuk di atasnya. Sebuah gelas yang digunakan sebagai wadah alat tulis d sudut kiri, dekat sebuah bingkai foto kecil dari plastik berwarna bitu muda. Kalau tidak salah, itu adalah foto Alisa dengan tiga sahabatnya : Cika, Neysa, dan Deby. Ia memperhatikan lagi; ruangan tempat ia bangun berdindng kuning pucat, di sudut lain terdapat lemari pakaian dua pintu dari kayu lapis. Selain itu, di bawah ranjangnya, terhampar karpet bulu halus dengan corak kartun beruang madu. Beberapa buku lain berserakan di sana, beserta kemeja dan celana jins panjang yang tidak sempat ia bereskan sepulang dari kampus kemarin malam. Alisa menghela nafas; dia terbangun di kamarnya.
Bersamaan dengan nafas itu, sebersit rasa kecewa mengembun dalam dada Alisa. Sekali lagi, laki-laki itu menghilang bersama pagi dan terbukanya mata. Ia tak ubahnya hantu, yang menghilang setiap mentari menyelinap masuk melalui tirai kamarnya. Kini ia harus sabar menanti hingga hari berganti, saat matahari berganti shift dengan bulan, lalu tidur dan menemuinya kembali : Lelaki dengan raut wajah halus dan mata damai meneduhkan. 
Alisa dengan gontai bangkit keluar kamar, menuju westafel yang terletak persis di sisi luar dinding kamarnya. Bilasan air menyegarkan wajah dan matanya, namun belum menghapus gurat kusam dalam hatinya. Sesuatu masih tertinggal dalam alam mimpinya, mencabut semangatnya untuk beraktivitas hari itu. Ia angkat wajahnya, dan menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia punya struktur wajah yang pas, berhias alis tebal indah dan mata jernis, rambutnya hitam bergelombang indah; secara keseluruhan dia menarik, sangat cantik. Akan tetapi, gadis cantik ini tengah merana. Ia jatuh cinta, dengan sangat keras. Sebenarnya, tentu saja normal bagi gadis seusianya untuk mulai menyesap romantisme, dan mengalami sedikit kebingungan dalam menghadapinya. Tetapi, Alisa menghadapi masalah yang sedikit lebih rumit, karena ia jatuh cinta pada seseorang yang bahkan tidak ada dalam dunia nyata. Ia jatuh cinta pada seorang lelaki yang hidup dalam mimpinya.
Lelaki itu hadir sejak malam keduapuluh delapan di bulan Maret. Saat itu, Alisa ingat sebelum tidur, bulan purnama bertengger anggun di langit gelap. Alisa selalu menatap langit malam sebelum tidur, itu memberinya ketenangan sendiri. Pertama kali ia hadir, lelaki itu tengah bermain harmonika di sbuah bukit hijau sambil menghadap hamparan laut. Aneh, Alisa tidak ingat jelas bagaimana sisanya, tapi pemandangan itu selalu membekas dalam benaknya. Bahkan arah gerakan angin yang meniup rerumputan di kaki itu, hingga nada yang ia hanyutkan dalam telinga Alisa. Setelah itu, pada malam-malam berikutnya, lelaki itu terus hadir dalam mimpi gadis muda tersebut. Laki-laki dengan wajah lembut, namun menyimpan gurat kekuatan tersembunyi dalam dirinya. Matanya sering menatap langsung pada mata Alisa, menghunjamkan berbagai macam perasaan yang kerap kali masih membekas di dada Alisa hingga terbangun. Di dalam matanya, terpancar sesuatu yang misterius, kuat, dan siap memberontak. Sebuah kombinasi aneh jika disandingkan senyum tulusnya.
“Siapa namamu?” Alisa ingin sekali mendengarya, mengingatnya, dan menyebutnya dalam doa agar Tuhan mengakhiri penyiksaannya dengan menghadirkan laki-laki itu dalam dunianya yang nyata, dunia yang tak perlu menunggu malam datang. Namun, setiap kali ditanya demikian, laki-laki itu hanya dia sambil menyunggingkan senyum khasnya, lalu menggapai wajah Alisa, mengelus lembut pipi kanannya, dan kemudian tanpa tedeng aling-aling, menarik kepalanya sehingga bibir mereka beradu. Biasanya, Alisa akan langsung terbangun dengan panas yang membakar wajahnya. Saat ia mencoba tidur lagi, mimpi itu berakhir dan ia hanya berakhir pada sinar mentari yang memaksanya bangun. Lama-kelamaan, Alisa tidak perduli lagi dengan nama laki-laki tersebut. Meski ia tetap menanyakannya, hanya agar Alisa dapat merasakan sensasi singkat bibir lelaki tersebut.
Namun, malam itu sesuatu yang berbeda terjadi. Laki-laki itu mendadak dingin, seolah ia hadir hanya untuk mengacuhkannya. Sepanjang waktu, ia hanya berdiri menjaga jarak dan memunggunginya. Senyumnya tak lagi tampak, bahkan sentuhan tangannya pun tak lagi menggapainya. Malam-malam berikutnya, kejadian yang sama terulang. Laki-laki itu hadir, namun mengabaikan keberadaan Alisa di alam mimpinya sendiri. Sementara gadis itu eakan menjelma bak orang lumpuh, tak mampu melakukan apapun, bahkan sekedar memanggilnya dan menarik tangannya. Mereka selalu di tempat yang berjarak. Laki-laki itu juga tidak mencoba pergi, seakan mencoba untuk menambah siksaan bagi Alisa. Malam menjadi mimpi buruk baginya. 
“Lu kenapa?” Tanya Cika, sahabatnya yang berasal dari Jakarta. Gadis ramping bak boneka itu menyadari perubahan pada air muka Alisa beberapa hari terakhir ini.
“Gak papa… Kurang tidur aja.. hehe…” Ujar Alisa mencoba menutupi kegelisahannya yang tidak normal. Entah bagaimana pendapat Cika dan orang lain jika ia mengakui telah jatuh cinta pada seseorang yang hanya hidup dalam mimpi.  “Hmm… weekend besok mbolang aja gimana? Bareng anak-anak sama cowok-cowok lain”, ujar Cika. Kosakata gadis jakarta ini sudah bercampur aduk dengan budaya lokal akibat pergaulannya selama tiga tahun dengan arek asli Suroboyo di kampus. 
Alisa mengangguk seraya berucap, “Ikut aja”. Cika mengambil smartphone-nya seraya bergumam,”Sip.” Alisa kembali fokus pada layar laptopnya. Data, grafik, dan angka-angka yang melelahkan menjadi kencan makan siangnya. Diam-diam, gadis bersyukur pada Cika yang lupa mengerjakan tugas makalah ekonometrika kelompok mereka, dengan deadline presentasi nanti sore, setidaknya bisa memberi Alisa cukup pengalihan untuk menghindar dari laki-laki dalam mimpinya.
“Baca apaan?” Tanya Alisa seraya merapikan print-out makalah. Cika tampak fokus selama beberapa saat, kemudian melemparkan ekspresi tidak tertarik. 
Nothing. Cuma artikel biasa. Kamu tahu lucid dream?” Tanyanya Cika seraya mengambil dompet dari tas pinggang merah mudanya. Alisa mencoba mengingat sejenak, merasa pernah mendengar istilah tersebut.
“Kayaknya pernah.” Jawabnya singkat.
“Semacam fenomena psikologi gitu… katanya kalau bisa ngelakuin, kita bisa mengontrol mimpi kita sendiri.”Jelas Cika sembari membayar uang print pada petugas jaga.
Ah, Alisa ingat sekarang. Hal seperti itu sempat menjadi trend saat ia masih SMA. Beberapa temannya mengaku bisa melakukannya, dan efeknya luar biasa menyenangkan. Saat itu, Alisa tidak tertarik dan melupakannya begitu saja. 
“Ooo.. gitu..” Gumam Alisa. 
“Oke, yuk buruan, keburu Pak Hisam datang.”Ajak Cika. Alisa mengikutinya dari belakang. Tampaknya ia tahu yang harus dilakukan malam ini, untuk mengakhiri siksaannya.
Laki-laki itu masih mengacuhkannya. Kali ini, di sebuah taman dengan bunga-bunga cerah seperti musim semi yang pernah ia bayangkan. Ada seluncuran dan ayunan berwarna mencolok di dekat mereka, serta kotak pasir dan berbagai permainan lainnya. Alisa mengingat semuanya, dan mencoba sedapat mungkin menahannya. Ia meraba ke bawah ranjangnya, dan mengambil notes kecil coklat yang ia siapkan. Ditulisnya segala sesuatu yang ia impikan sedetil mungkin. Setelah itu, Alisa menenggak sedikit air mineral yang sudah ia siapkan, dan kembali tidur. Ia memejamkan mata seraya terus berupaya memvisualisasikan kembali seluruh hal yang dia ingat. Pikirannya fokus untuk melakukan lucid dream, sebuah teknik untuk mencapai kondisi psikis di mana kita mampu mengontrol mimpi. Lama ia berusaha fokus hingga akhirnya terlelap. Namun, sayangnya, yang ia lihat lagi-lagi hanyalah kegelapan.
Alisa mencoba melatih teknik itu berulang-ulang, meski harus menahan perih akibat pengabaian laki-laki tersebut. Dan akhirnya, di suatu malam, saat ia mencoba kembali tidur usai menulis jurnal mimpinya. ia merasakan perbedaan pada tidurnya. Alisa merasa ia tertarik dalam ke ranjangnya, sekujur tubuhnya mendadak kaku, dan punggungnya seperti diikat ke dasar ranjang. Tubuhnya makin lama terasa makin berat. Alisa mencoba tidak panik, seperti saran sebuah artikel yang baca tentang lucid dream. Ia yakin telah berhasil masuk ke satu tahap menuju keberhasilan, ia mengalami sleep paralyze. Mendadak seluruh gambaran yang ia bangun lebur seperti televisi rusak. Semuanya berubah jadi kabur, dan ia merasa beban tubuhnya melebihi apa yang bisa ranjangnya tampung, tubuh melesak jatuh jauh ke dalam sebuah lubang yang sangat dalam. Alisa semakin panik, kematian seakan menggapai jemarinya, dan ia nyaris tak mampu menahan teriakannya. Sekejap kemudian, tubuhnya berhenti, seakan telah mencapai dasarnya. Alisa tidak merasa membuka matanya, namun kegelapan itu perlahan-lahan memudar, dan berganti dengan pemandangan kamarnya. Ia coba gerakan tangannya, kakinya, semua bisa kendalikan. Lalu, ia tekan lubang hidungnya. Aneh, ia masih bisa merasakan airan udara, dan tidak merasa sesak. Ia cubit tangannya, pinggangnya, tidak sakit. Ia coba tendang salah satu kaki meja belajarnya, juga tidak nyeri. Alisa nyaris berjingkrak senang : Ia berhasil!! Ia ada dalam mode lucid dream!!
Alisa coba membayangkan kembali situasi terakhir ia bertemu laki-laki itu : Sebuah bukti hijau dengan sebatang pohon tua sebagai satu-satunya vegetasi berkayu di sana, dengan laut yang terhampar nun jauh sebelah timur. Alisa ingat itu adalah tempat pertama kali lelaki itu hadir dalam mimpinya, bersama alunan harmonika yang masih membekas. Beberapa saat kemudian, seperti berpindah dimensi, seluruh pemandangan kamarnya melebur dan berganti dengan hamparan rumput yang naik turun sepanjang mata memandang. Alisa membalik badan, laki-laki itu di sana. Dia berdiri di bawah rindang pohon tua di mana ia pernah menciumnya, masih menggenggam harmonikanya, dan kini, ia menghadapi dirinya kembali dengan senyum khasnya.
Desakan kegembiraan memenuhi dada Alisa. Dalam mimpi biasa, atau lucid dream degup jantung rupanya masih sama terasa, masih sama nyatanya. Gadis itu segera berlari mendekati lelaki yang telah ia rindukan senyumnya, hingga ia lupa dalam lucid dream, ia bisa mengatur dirinya untuk berada langsung tepat di samping kekasihnya. Tanpa menunggu lagi, Alisa melompat ke arah laki-laki itu, dan terjun ke dada bidangya. Dipeluknya erat tubuh laki-laki itu, kali ini, semuanya terasa nyata. Lucid Dream membuat laki-laki itu memang hadir sebagai mana manusia. Hangat tubuh kerasnya mengalir ke dada Alisa. Perempuan itu ingin ini berlanjut selamanya. Semakin nyata sensasi hangat itu, Alisa semakin mempererat pelukannya. Hidung Alisa menempel pada dada lelaki tersebut, dihirupnya kuat-kuat bau orang yang tak pernah bisa digapainya itu. Selama ini, hubungan mereka berjalan dengan tak adil. Jarak yang dihadirkan diantara mereka terlalu jauh untuk ditempuh dengan apapun, dan kekasihnya itu pasti telah jenuh dengan semua penghalang tersebut, sama seperti dirinya. Namun kali ini, semua sirna. Dengan lucid dream, ia bisa menggapai kekasihnya secara nyata, merasakan hangat tubuhnya, dan menghirup bau tubuhnya. Tanpa disadari, beberapa bulir air mata jernih yang panas mengalir turun.Alisa mendongak. Wajah lembut itu menatap langsung pada matanya, sama seperti dulu. Ia masih tersenyum, dan masih mengakibatkan kenaikan suhu pada wajah Alisa.
Setelah sekian lama berpelukan, Alisa mencoba mengajukan pertanyaan yang membuatnya tersiksa beberapa hari terakhir,
“ Kenapa tiba-tiba kau mengabaikanku?”
Laki-laki itu tersenyum. Alisa takut, ia hanya akan diam dan kemudian menciumnya untuk menghempaskannya kembali pada kenyataan. Tapi ternyata, untuk pertama kalinya, ia menjawab, dengan suaranya yang begitu dalam dan lembut,
“Aku tidak mengabaikanmu. Kau yang menjauhiku.”
Alisa tidak mengerti, “ Bukan. Kau yang memunggungiku. Kau mendiamkanku. Sementara aku tidak bisa bergerak, atau bahkan bersuara untuk memanggilmu…” 
“Benar, dan itu terjadi dalam mimpimu; mimpimu yang asli, dan itu artinya sesuatu dalam dirimu tidak ingin bicara denganku…” Ujar kekasihnya.
“Itu tidak masuk akal. Hanya aku dan Tuhan yang tahu betapa aku tersiksa tak mampu memanggilmu, dan melihat senyummu. Seluruh diriku merindukanmu…” Balas Alisa.
“Aku tidak ada kaitannya dengan logikamu, manis.” Ujar laki-laki berwajah lembut itu seraya kembali tersenyum. Perlahan, ia membelas rambut Alisa.
“Menurutmu, aku ini apa?mimpi atau kenyataan?” Tanya laki-laki itu. 
“Eh…uh….” Alisa benci pertanyaan itu. Ia pernah mengajukannya pada dirinya sendiri. Dan itu membuatnya seperti berada di depan mulut sebuah revolver.
“Aku adalah mimpimu, orang yang hidup dalam malam mu.” Jawab lelaki itu lagi. “ Namun, di saat yang sama, aku juga hadir dalam kenyataanmu…” Lanjutnya.
Alisa mengernyit. Apa maksudnya?
Kamu….” Belum sempat Alisa meneruskan, kekasihnya itu melanjutkan, “ Beberapa malam terakhir ini merupakan malam paling membahagiakan bagiku. Aku selalu mendengar suaramu; di pagi, siang, dan malam. Namun, kau tidak bisa, dan aku ingin kita bisa berbicara langsung. Karena itu kali ini, seperti bonus paling besar yang bisa kuterima…” Alisa menatapnya bingung, ia tidak suka dengan arah dari gaya bicara kekasihnya. Tangannya mencengkram erat lengan laki-laki itu.
“Dengar…” Lanjut laki-laki itu. “Aku akan selalu jadi kenyataanmu, karena takdir menuntunya seperti itu. Mulai saat ini dan seterusnya, aku akan menjadi bagian dari hidupmu. Tak ada hal lain yang bisa membuatku bersyukur lebih dari pada kenyataan itu….” Tangan laki-laki itu perlahan menyentuh dada Alisa. Sontak gadis sedikit bergidik. Namun entah kenapa, ia tidak ingin menolaknya. Kehangatan kekasihnya itu menjalar dengan kuat, dan Alisa merasakan energi kehidupan yang kuat mengalir masuk. 
“Mungkin kita tidak bisa bertemu lagi seperti ini lagi. Bagaimanapun, impian terakhirku sudah terpenuhi. Aku sudah bertemu denganmu…” Kata-kata itu mendadak menghentikan daya hidup Alisa. Ia mencengkram lengan kekasihnya lebih erat. Matanya kembali berkaca-kaca, dan sesuatu mendesak tubuhnya. Tubuhnya mendadak seperti ditarik oleh semacam kait yang menjerat punggungnya. Pemandangan bukit hijau, pohon tua, dan lautan biru perlahan mengabur. 
“Sudah waktunya…Sayang sekali, ya?” Gumam lelaki itu. Lenga Alisa mencengkram semakin erat, ia menatap wajah kekasihnya dan menggeleng-geleng cepat, menolak pergi. Ia tidak tahu apa yang terjadi.
“Kenapa?!! Kita baru… bertemu… aku baru mendengar suaramu…” Alisa berusaha memberontak dari kekuatan yang menarikya. 
“Ini memang permintaan terakhirku… Percayalah, aku akan merindukanmu…” Alisa yakin bisa melihat mata lelaki itu berkaca-kaca. Sementara itu seluruh pemandangan mereka kini sudah hilang total menjadi kegelapan, dan tarikan itu semakin kuat. Alisa tidak bisa menerima ini, setidaknya,
“Siapa namamu?” Tanya Alisa.
“Galih.” Jawab Laki-laki itu. Air matanya mengalir turun, dengan senyumnya yang masih mengembang. Akhirnya, Alisa tahu namanya.” Aku… aku Alisa…”
“Aku tahu…”, Alisa sudah tidak sanggup menahan tarikan itu lagi. Cengkraman tangannya semakin lemah. Sosok Galih seakan semakin pudar.
“Hey, Alisa, bisa minta tolong?” Tanya Galih.
“Apa?” Cengkramannya lepas. Tubuh Alisa tertarik.
“Tolong jaga jantungku baik-baik… kekasihku…” Dan sosok Galih menghilang, sementara tubuh Alisa tersedot oleh sebuah kekuatan yang begitu besar.

**** Pada tanggal 1 Maret 2016, Alisa yang telah lama mengidap kardiomiopati, sebuah kelainan pada otot kardiak jantung, menjalani operasi transpalasi jantungnya setelah sekian lama menunggu donor. Jantung tersebut berasal dari seorang mahasiswa muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor. Pemuda itu bernama : Galih Prakoso Putra